Dinamika Sejarah dan Sosial Budaya
Kabupaten Kebumen
BAGIAN : 2
Bagelèn, Kedu dan juga Banyumas diperlakukan sebagai wilayah bebas dengan memiliki otonomi yang besar. untuk menjadi wilayah yang tidak banyak diperintah oleh pihak-pihak yang berasal dari luar daerahnya. Informasi tentang kedudukan wilayah-wilayah pedalaman ini, diperoleh dari sumber Belanda. Tatkala Hendrick de Haen (seorang utusan VOC di Batavia untuk bertemu dengan raja Mataram di Kotagedhe) dalam perjalanannya ke Mataram yang pertama (1622 Masehi), di Pekalongan saat bersantap malam dengan Tumenggung Tegal, masalah rakyat di seberang bukit-bukit, yakni rakyat Banyumas, Kedu dan Bagelen menjadi bahan pembicaraan. Saat De Haen menanyakan apakah rakyat di daerah-daerah itu juga menjadi budak-budak ? Ia memperoleh informasi dari Tumenggung Tegal, bahwa penduduk Banyumas, Bagelen dan Kedu itu bukanlah orang-orang yang diperintah (di bawah para petinggi dari lingkungan keraton) melainkan “orang-orang yang mardicka”. [33] Mereka pada setiap tahun membayar pajak kepada raja di Mataram dalam bentuk minyak kelapa atau uang, dan begitu mereka telah melakukan pembayaran pajag itu, maka mereka tidak akan terkena kewajiban kerja paksa dan pergi ke medan perang.[34] Latar perkembangan sejarah itu tampaknya yang dapat menjelaskan keterangan F.Fokkens dalam Tijschrift Batavaasche Getnootschap XXXI, yang menyatakan tentang desa perdikan yang sebagian besar ada di karesidenan Bagelen (Krapyak), Banyumas (Selarong) dan Madiun (Purboyo). [35]
Mitologi Bagelèn, Somalangu dan catatan tentang Bocor, merupakan keping-keping informasi sejarah terkuno yang menjadi bagian daerah Kebumen. Ini merupakan sesuatu yang penting untuk menunjukkan bahwa wilayah Kebumen telah tumbuh dalam proses sosial kemasyarakatan yang panjang dan berubah-ubah dari masa ke masa. Sehingga sampai pada tahapan sosial tertentu, proses-prosesnya secara horisontal telah mencapai suatu tingkat pengelompokan kehidupan orang-orang setempat dalam bermasyarakat yang bersifat integratif. Tentu, hal demikian diperkuat oleh tumbuhnya tradisi sosial dan pilar-pilar kehidupan agraris, kelembagaan-kelembagaan sosial di tingkat grass-root-level serta kesadaran-kesadaran kolektif lainnya. Pengaruh adabtasi ekologis, dasar kemasyarakatan agraris dan hubungan lintas kelompok, telah membentuk corak masyarakat lokal yang tumbuh di Kebumen. Perkembangan demikian pada gilirannya mendorong pembentuk struktur kehidupan yang bersifat vertikal tertentu. Kenyataan yang ada dalam masyarakat Kebumen dan juga riset di lapangan, telah menemukan bukti-bukti bahwa bentuk dari gabungan-negeri atau dusun yang disebut paglondhongan,[36] sebagai corak hubungan vertical dari penerapan sistem mancapat-mancalima di wilayah Kebumen pada umumnya (yang sejak tahun 1847 menjelma menjadi onderdistrick) [37]
Pertumbuhan kuno komunitas-komunitas setempat, sebagaimana yang berlangsung di kompleks sekitar Somalangu maupun Bocor, merupakan contoh dari bukti awal terhadap perkembangan sistem masyarakat hidrolik di daerah Kebumen. Beberapa satuan fisiografis utama mempengaruhi penduduk dan masyarakat, seperti ditandai logat bahasa dan kebiasaan lainnya yang terpisah berdasarkan letak daerahnya. Geografi merupakan ruang teritorial yang membawa penduduknya kepada suatu kesadaran, bahwa mereka hidup dalam suatu set¬ting sub-kultur tertentu. Jaringan masyarakat dan kesadaran tradisional akan konsepsi kerajaan agraris sebagai budaya atasnya, telah menempatkan komunitas-komunitas di wilayah Kebumen yang masih terpencar dan berdiri sendiri-sendiri (pada saat itu), dalam suatu kerangka proto kesadaran politis tentang tanah Bagelèn, dimana keberadaan dan peran dari masyarakat (Kebumen) ternyata telah memperoleh pengakuan sejarah, seperti ditunjukkan dari episod perubahan politik pada masa akhir kekuasaan Pajang dan bangkitnya Mataram pada abad ke-16.
Konsep tanah Bagelen menjadi lebih mudah dimengerti sejak zaman Mataram, terutama sejak Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) mengembangkan konsep kewilayahan berdasar hubungan politik dan sistem apanage (lungguh). Tanah Bagelèn ini, mulanya sering disebut dengan “Krapyak”, karena memiliki identifikasi yang kuat melalui adanya hubungan asosiasi antara tanah Bagelèn dengan Pangeran Krapyak, sebagaimana hubungan antara Pangeran Purbaya dengan tanah Madiun dan antara Pangeran Silarong dengan tanah Banyumas.[38] Melalui keputusan yang dikeluarkan pada tahun Jawa 1555 bertepatan 1636 Masehi, Sultan Agung membagi wilayah kerajaan di luar negari yang bukan mancanegari (amérang siti dhusun sajawining rangkah Mataram, ingkang mboten kalebet siti ing mancanegari) menjadi empat bagian, yang masing-masing dikepalai oleh dua orang Bupati Nayaka. Empat kategori dijadikan sebagai titik batas pembagian wilayah itu, antara lain yakni:
1. Tanah ing Pagelèn (cakupan wilayah sekitar Purworejo-Kebumen);
2. Tanah ing Kedhu (cakupan wilayah sekitar Magelang-Temanggung)
3. Tanah Pajang (cakupan wilayah sekitar Sragen dan Klaten)
4. Siti Ageng (wilayahnya terletak antara Pajang dan Demak),
Keempat wilayah ini merupakan negarigung, yakni kompleks tanah-tanah yang ada di wilayah pinggiran sekeliling daerah ibukota Mataram, yang status tanahnya menjadi apanase (lenggah gegadhuhan) dari para pejabat tertentu di lingkungan birokrasi keraton Mataram, yakni delapan orang bupati nayaka beserta para panekar; delapan orang bupati nayaka lebet, keparak kiwa-tengen, gedhong kiwa-tengen, beserta panekar. Para pejabat itu diberikan tanah lungguh di bagian tampingan (pinggiran) kerajaan, dan mereka juga bertugas untuk mengurusi semua tanah-tanah yang dikategorikan sebagai pamaosan pangrembe, yakni yang menghasilkan pajak dalam bentuk uang. [39]
Sebagaimana dalam peta pembagian wilayah Mataram yang bersifat konsentris (bentuk kerajaan sekeliling, yang diterjemahkan Pigeaud dari mandalita rastra), kerajaan terbagi atas beberapa lingkar wilayah : [40]
1. Negari atau kuthagara, yakni kota tempat raja berada atau hofstad dan menjadi pusat dari kegiatan pengelolaan negara (ibukota pemerintahan);
2. Negarigung, daerah sekitar kota atau ommelander dimana terdapat lungguh-lungguh (apanagegronden) dari pegawai raja atau pembesar istana termasuk Mataram, Pajang, Sukowati, Bagelèn, Kedu dan Bumigedhé (Siti Ageng);
3. Mancanegari, daerah-daerah yang jauh letaknya (buitengewesten) yang biasanya merupakan siti majegan (tanah yang dikenai pajak) yaitu: Banyumas, Madiun, Kediri, Japan, Jipang, Grobogan, beberapa daerah kecil dan Kedhuwang. Daerah ini diperintah bupati-bupati yang berkedudukan sebagai raja bawahan Mataram.
4. Pasisir ialah wilayah mancanegari yang terletak di gugus pantai utara Jawa, yang memanjang dari Cirebon (di bagian barat) sampai Surabaya (di bagian Timur).
Tanah di Bagelèn dibagi menjadi dua wilayah, yakni wilayah sebelah barat yang disebut Bumi Sèwu atau Siti Sèwu, dan wilayah yang sebelah timur disebut Bumi Numbak Anyar atau Siti Numbak Anyar. Cakupan dari wilayah tersebut dinyatakan sebagai berikut : [41]
1. Sèwu adalah tanah Bagelen yang mana pada (batas tepian) sebelah timur mulai dari Sungai Bagawanta ke arah barat mengikuti (daerah) Dhudhuwala, Telaga, Bulu Kapitu, Dhadhap Agung sampai Donan yang disebut Bumi Sewu.
2. Sedangkan Numbak Anyar adalah tanah Bagelen yang membentang mulai dari sungai Bagawanta di bagian barat, ke arah timur sampai Praga.
Dalam penataan sistem apanase wilayah Mataram itu, diperkirakan Kebumen merupakan bagian dari negarigung kompleks tanah Begelèn wilayah barat, yang disebut Sèwu. Peta yang menjadi patokan untuk menentukan letak wilayahnya, adalah daerah pemusat pemukiman Dhudhuwala, Telaga, Bulu Kapitu, Dhadhap Agung dan Donan. Besar kemungkinan wilayah ini sekarang masuk daerah Kutoarja dan Kebumen (Sedang Numbak Anyar masuk Kedhungkebo atau Purworeja). Berdasar letak geografis yang berjajar berurutan ke arah barat, kecuali Dhudhuwala (terletak di Purworejo), setidaknya daerah lain telah diketahui berada di wilayah kabupaten Kebumen, yakni Telaga (Mirit), Bulu Kapitu (Kutawinangun), Dhadhap Agung (?) dan Donan (sekitar Gombong). [42]
Beberapa daerah yang ada di wilayah Kebumen, disebut-sebut dalam dokumen pelarian Susuhunan Amangkurat I saat keraton Plered jatuh ke tangan musuh pada 28 Juni 1677, sebagaimana laporan pandangan mata dari Umbul Astrayuda. Menjelang kejatuhannya, keraton dipertahankan oleh pasukan dari Bagelèn, [43] dan pada malam harinya Susuhunan yang sedang sakit dipindahkan dari kuda dengan naik tandu, diantarkan puteranya, Raden Tapa dan Raden Aria Panular serta dua orang perempuan, rombongan Susuhunan yang berjumlah 1.000 orang berziarah ke makam Imogiri, kemudian bergerak ke arah barat melalui jalan dekat pantai. Mereka mengikuti jalan Urut Sèwu [44] memasuki wilayah Kebumen pada hari ketiga (tgl.30 Juni) sampai di daerah Rawa (Wawar). Pada hari keempat (tgl.1 Juli) sampai di daerah Bocor, dan hari berikutnya sampai di daerah Petanahan. Pada hari keenam (tgl.3 Juli) rombongan sampai di daerah Nampudadi, dan di tempat ini ia bertemu dengan rombongan putera sulung, yakni Pangéran Adipati Anom. Susuhunan Amangkurat I pada malam harinya menyerahkan pemerintahan dan pusaka (gong bernama Kiai Bicak dan keris bernama Kiai Balabar) kepada putera mahkota (Pangéran Adipati Anom), sebagai pertanda berlangsungnya pergantinya pemegang kekuasaan di Mataram. Di Karanganyar (Roma), rombongan raja dan isteri-isterinya dirampok. Pada hari ketujuh (tgl.4 Juli), rombongan sampai di daerah Pucang (Gombong) dan pada tgl.5 Juli kemudian menuju wilayah Banyumas. [45]
Dilihat dari catatan-cacatan tentang jatuhnya keraton Mataram di Plered berdasar atas lima sumber yang ada, menunjukkan bahwa rombongan Susuhunan Amangkurat I beberapa lama ada di wilayah Kebumen (selama lima hari dari tgl.30 Juni sampai 4 Juli 1677) namun tidak beristirahat di rumah Ki Kertawangsa di Panjer (dan kemudian dikawinkan dengan Dewi Mulat dan diangkat Adipati Panjer), sebagaimana disebutkan Gitotaruna dalam tulisannya (1987, hal.9 dan wawancara tim peneliti dengan penulis tgl. 27 Januari 1987 di Guest-House Pemda Tk.II Kebumen) yang disitir dalam laporan penelitian hari jadi Kebumen.[46] Tentu saja untuk lebih memperjelas persoalannya, ini butuh pengkajian lebih memadai, sehingga dapat diketemukan kebenaran historik dari peristiwanya. Sedang dalam kasus Karanganyar itu sebagaimana ceritera rakyat yang diperoleh, diperkirakan Tumenggung Nalasara I juga berhasil memperoleh salah seorang puteri Susuhunan dan dikawininya, bertempat tinggal di Pagadhungan (sekarang desa Sarwogadung, Mirit). Sedang pada periode sesudah sesudah Perjajian Giyanti (1755), nama Panjer muncul dalam catatan dan peta sejarah Mataram. Pada masa ini, juga muncul nama Adipati Tanah (Bagus Janah), seorang bupati Kapucang di Gombong,yang dianggap memiliki hubungan dengan kebangsawanan Banyumas. [47]
VOC pertama kali mengetahui tentang keadaan pedalaman tanah Jawa, tatkala mengirimkan ekspedisi Antonio Hurdt dari Jepara ke Kediri pada tahun 1678. Dalam pembagian wilayah Mataram sebelum tahun itu muncul nama Begelèn sebagai wilayah nomor 27, dengan mengaitkannya daerah Rawa (Wawar). [48] Di antara manuskrip dari G.P. Rouffaer yang lebih kemudian terdapat suatu arsip untuknya yang diterjemahkan seorang Belanda di Mataram dari arsip-asip tentang instruksi Susuhunan Amangkurat II tertanggal 2 Desember 1677 untuk semua penguasa daerah, mengenai kegiatan ekspor padi dan beras. Dalam daftar itu nama Bagelèn terpancang dalam nomor 27 (seperti nomor urut tahun sebelumnya) yang disertai dengan nama “Botchior” (daerah Bocor) yang menyertai penyebutan wilayah itu, di samping nama daerah Ayah (di kelompok Banyumas). Menurut Schrieke, suatu yang penting terjadi penyebutan Bocor, Salinga (mungkin adalah Kalingga, Dieng) dan Ayah sebagai suatu daerah yang terpisah. [49]
Tampaknya perubahan ini memiliki kaitan dengan kasus yang dialami Bagelèn setelah kepemimpinan Amangkurat II, seperti telah dibahas di depan. Setelah pertempuran besar, akhirnya Susuhunan Amangkurat berhasil mengajak Sunan Ngalaga berdamai, setelah pemberontakan Raja Namrud di Salinga. Para pemimpin Bagelèn masih setia pada Pangeran Puger, hingga memperoleh peringatan dari raja dan mereka dibebaskan dari hukuman atas tanggungan Pangeran Puger; namun penguasaan atas tanah Bagelèn kemudian dipecah-pecah. Pengangkatan pejabat tanah Bagelèn yang terbagi atas dua orang petinggi keraton, baru muncul pada awal pengangkatan Susuhunan Paku Buwana II pada tahun 1655 Jawa atau 1725 Masehi yang menugaskan Radèn Demang Ngurawan bersama Patih Adipati Danureja untuk menata seluruh abdidalem jawi-lebet ing salabetening negari, dimana Bupati nayaka jawi tengen, yang terdiri dari abdi-Dalem Nayaka Sèwu Kyai Tumenggung Hanggawangsa, Nayaka Tumbak Anyar, Kyai Tumenggung Cakrajaya. Penduduk di kedua wilayah ini diberikan kewajiban menyediakan bau-suku (pekerja kasar), disertai abdi Dalem tiyang gowong. Tugas lainnya adalah menyediakan pekerja kasar sehari-hari, bekerja di kerajaan atau apabila raja ingin mencari perempuan cantik untuk dijadikan pelara-lara (penghibur raja). Mencari orang aneh, palawija (abdi-Dalem raja yang mempunyai kelainan fisik), orang yang sangat sakti, memasuki tempat-tempat yang sulit, hutan yang gelap, mendaki gunung yang tinggi, menghilangkan segala hal yang menakutkan, masuk ke dalam pusaran air sungai yang dalam, segala macam hasil hutan, di gunung, di sungai, di lautan, bertindak terlebih dahulu apabila ada kesulitan yang menimpa kerajaan, serta menjalankan agama dan perintah Rasul. [50]
Secara berturut-turut, terdapat catatan tentang beberapa pejabat abdi-Dalem Nayaka Sèwu, di antaranya: (1) Tahun 1733 dijabat oleh Kandhuruan Wilatikta; (2) Tahun 1736 dijabat oleh Ngabehi Wirawangsa dengan gelar Tumenggung Garwakondha (Jayabrata); (3) Tahun 1738 dijabat oleh Tumenggung Kartanegara I; (4) Awal 1740 atau 1741 digantikan oleh Tumenggung Mangunnagara III; (5) Setelah gugur dalam serangan benteng Kumpeni 20 Juli 1741, digantikan oleh puteranya, yakni Tumenggung Mangunnagara IV; [51] (6) Menurut catatan Elso Sterrenberg saat berkunjung ke Kartasura tahun 1744, Raden Tumenggung Kartanegara II menjabat Wedana Sèwu. [52]
Keadaan tanah di Bagelen berubah kembali akibat perselisihan raja-raja, terutama antara Pangéran Mangkubumi, Susuhunan Paku Buwana III dan VOC. Pada waktu terjadi pemberontakan para pangeran pada saat berlangsung intrik setelah terjadi penyerahan Mataram kepada pihak kompeni oleh Susuhunan Paku Buwana II tanpa dasar perjanjian apa-apa (11 Desember 1749), sehingga Pangéran Mangkubumi menentang dan mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Pakubuwana di Yogyakarta. Susuhunan Paku Buwana II meninggal dunia pada 20 Desember 1749, setelah lima hari sebelumnya, mengumumkan kalau Pangéran Adipati Anom nantinya yang akan menggantikannya sebagai Paku Buwana III. Persoalan menjadi semakin ruwet dan menegangkan pada saat banyak para pangeran di keraton yang kemudian ditangkapi untuk dipaksa dan dibawa menghadap petinggi kompeni di Semarang, maka banyak manggala praja yang menyingkir dan melarikan diri ke Yogyakarta. Meletus konflik-konflik di pelbagai daerah yang meresahkan dibarengi dengan perang gerilya, hingga sampai pada tahun 1750, setelah kompeni mengirimkan pasukan dari Betawi tidak kurang dari 1.500 prajurit dengan 3.400 prajurit bantuan serta dibantu pula oleh 2.000 kuli.[53]
Dalam pertempuan yang berlangsung di wilayah Kedu, Yogyakarta dan Bagelèn, pasukan kompeni berhasil merebut wilayah itu dari tangan penguasaan para pangeran yang memberontak dan mengembalikan ke dalam kekuasaan raja. Namun pada bulan Oktober 1751, wilayah itu memperoleh kembali serangan dari musuh. Pasukan kompeni di bawah pimpinan Mayor Clerq (Hendrik Kalirek) berhasil mempertahankan Kedu, namun pasukan Pangéran Mangkubumi berhasil merusak formasi pasukan musuh dan menduduki Bagelèn. Gombong merupakan salah satu pusat penempatan dari pasukan “kompeni-Islam,” namun setelah melalui pertempuran akhirnya wilayah Bagelèn berhasil dikuasai pasukan Mangkubumi di bawah pimpinan Pangéran Purubaya.[54] Pada saat Pangéran Mangkubumi bermaksud meninjau Bagelèn dan menggempur pasukan kompeni, maka pasukannya bergerak di bawah pimpinan Pangéran Purubaya dan bermarkas di Roma, yang memperoleh bala bantuan yang dipimpin Wiradigda. Pada saat pasukan akan bergerak ke wilayah Banyumas, maka pasukan Surakarta yang dipimpin Adipati Banyumas bersama pihak kompeni, mendirikan benteng pertahanan di Ayah dan Selamerta (Wonosobo). Dalam pertempuran yang berlangsung di medan Ayah, pasukan Purubaya mengalami kekalahan dan mengungsi ke Gombong, namun akhirnya Roma juga berhasil direbut oleh pasukan musuh.[55] Dari peristiwa pertempuran yang terjadi Roma ini, maka Hanggawangsa sebagai pimpinan pasukan Surakarta nantinya akan diangkat dengan gelar baru sebagai “Tumenggung Arungbinang” oleh Susuhunan Paku Buwana III (1749-1788), karena kemenangannya atas prajurit Mataram yang dipimpin oleh Pangéran Purubaya dan Pangéran Mangkukusuma di Roma (Karanganyar). [56]
Pangéran Mangkubumi kemudian bersama pasukannya menuju ke Roma, dibantu oleh Pangéran Adiwijaya, Mas Rangga, Jadirja, Pangéran Purubaya, Suryanagara, Pangéran Mangkusuma dan Kartanagara. Pada saat sampai di desa Karasak, diketahui kalau pasukan kompeni berada di desa Ungaran (Kutowinangun), dan terjadi pertempuran di desa Gowang. Pasukan Mangkubumi beristirahat di desa Kaliwuluh dan kemudian menuju ke Kalibawang. Pangéran Mangkubumi bermaksud mengepung benteng Kompeni di Ungaran, mengatur siasat dari desa Pakacangan. Mendirikan pesanggrahan di desa Winong (Mirit), namun gerakan pasukannya baru tercium pihak lawan setelah memasuki desa Pucang, kemudian diteruskan menyeberang sungai hingga sampai di Ambal. Pada pagi harinya, sampai di desa Jrakah, dan akhirnya berhasil mengepung benteng kompeni dan mengalahkannya. Pasukan yang dipimpin Kartanagara