Kabupaten Kebumen merupakan salah satu daerah di wilayah Propinsi Jawa Tengah yang tidak hanya dikenal karena kaya akan potensi wisata alam, penghasil sarang burung lawet, berupa pantai, goa, bukit dan air terjun, serta pusat batuan atau geologi tertua dunia, namun juga dikenal sebagai lokasi dimana cukup banyak tempat peninggalan sejarah dan cagar budaya dari masa lampau. Beberapa tempat atau bukti sejarah dan petilasan di masa lalu yang cukup dikenal antara lain ; makam para ulama atau wali yang tersebar di berbagai lokasi, pesarean para sesepuh dan tokoh yang babad alas atau cikal bakal pendiri Kebumen, benteng Van der Wijck, jembatan Renville, masjid Somalangu, masjid Saka Tunggal di Sempor, dan sebagainya. Masjid Soko Tunggal atau masjid yang hanya memiliki satu tiang utama sebagai penyangga mesjid, memang tidak hanya berada di Kebumen, tapi ada juga di kabupaten Banyumas, yaitu mesjid Soko Tunggal di desa Cikakak kecamatan Wangon, ada juga di Jogjakarta, dan mungkin juga ada di beberapa daerah lain di nusantara. Usia masjid Soko Tunggal Sempor memang tidak setua dari yang ada di Banyumas, dimana menurut cerita sejarah, bahwa asal usul masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas dibangun pada tahun 1288 Masehi, dan merupakan masjid tertua di Indonesia.
Dilansir dari blog rahayudwi66.files.wordpress.com, bahwa alamat posisi atau lokasi Masjid Soko Tunggal Kebumen berada di desa Pekuncen, kecamatan Sempor, dengan arah sekitar 3 km dari kota Gombong. Konon sejarah masjid Soko Tunggal ini merupakan salah satu masjid tertua di Kebumen, yang dibuat pada tahun 1719 M di masa pemerintahan Adipati Mangkuprojo. Asal usul berdirinya Masjid Saka Tunggal di Sempor ini tidak bisa lepas dari tokoh ternama waktu itu yaitu Adipati Mangkuprojo. Pada 1700 M, Mangkuprojo merupakan bangsawan yang sangat gigih dalam melawan penjajah Belanda. Saat terdesak, Beliau melarikan diri dan memilih perang dengan cara bergerilya di sekitar desa Pekuncen, dimana selain bergerilya, Mangkuprojo juga sangat gemar melakukan syiar Islam kepada masyarakat sekitar. Pada tahun 1719, Adipati Mangkuprojo meninggal dunia, dan bebrapa waktu sebelumnya Beliau berpesan pada putranya agar dimakamkan di Pekuncen. Dan untuk memperingati 1.000 hari meninggalnya Adipati, sang putra mendirikan masjid. Dimana kerangka masjid itu disusun di Keraton Kartosuro, yang kemudian dibawa dengan berjalan kaki sampai ke Pekuncen. Kerangka masjid itu terdiri dari 1 batang saka dan 4 buah danyang atau skur.
Masjid ini memiliki keunikan, yaitu hanya berupa satu tiang kayu jati dengan tinggi sekitar 4 meter dan di ujung atas soko terdapat 4 batang kayu yang melintang sebagai penyangga utama bangunan masjid. Di tengah-tengah saka terdapat empat skur untuk membantu menyangga kayu-kayu yang ada di atasnya.Di bagian atap masjid Soko Tunggal menggunakan ijuk, dan di bagian dinding masjid menggunakan anyaman bambu (dabag). Renovasi pertama masjid Soko Tunggal Pekuncen dilakukan pada tahun 1822, dengan mengganti atap menjadi genteng. Dan rehab berikutnya dilakukan 1 abad kemudian yaitu di tahun 1922, dengan merubah dinding bambu menjadi dinding tembok dari batu bata. Pemeliharaan dan renovasi masjid Soko Tunggal terus dilakukan hingga saat ini, namun tidak merubah sama sekali 1 tiang utama dan 4 skur dari kayu jatinya. Bangunan masjid Soko Tunggal di Sempor itu telah diresmikan sebagai aset sejarah dan cagar budaya yang dilindungi oleh Pemda Kebumen.
Filosofi Saka Tunggal adalah melambangkan Keesaan Allah SWT sebagai sang pencipta alam semesta, atau yang Maha Tunggal. Makna tunggal diwujudkan dengan menggunakan masjid sebagai tempat beribadah dan jalan meyakini Keesaan Allah SWT. Sementara jika dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa, maka masjid merupakan simbol satu tekad untuk melawan dan mengusir penjajah dari Indonesia. Di kompleks cagar budaya masjid Saka Tunggal di Sempor juga terdapat situs sejarah lain, tepatnya di sebelah utara masjid yang berjarak sekitar 300 meter, yaitu makam atau pesarean keluarga Adipati Mangkuprojo. Yang mana pada setiap bulan Ruwah atau menjelang puasa Ramadhan cukup banyak warga masyarakat, baik dari sekitar lokasi maupun dari luar kota yang menyempatkan diri untuk berziarah atau berwisata religi ((ritual munggahan) di kompleks makam tersebut.