Keris adalah salah satu bentuk pusaka leluhur bangsa Indonesia dan sebagai warisan budaya nusantara yang juga sebagai karya seni agung yang membanggakan bangsa. Keris tidak hanya sebagai warisan budaya nusantara saja, namun sejak diakui oleh UNESCO pada 25 September 2005, keris Indonesia juga dikukuhkan sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia (warisan budaya dunia). Begitu banyak jenis pamor keris, jumlah luk keris, dapur keris, dan juga nama-nama keris beserta empu keris sejak dari jaman nenek moyang dulu. Menurut pendapat Prof Dr I Nengah, bahwa keris sebagai pusaka Indonesia memiliki nilai filosofi yang tinggi, yang meliputi pengejawatahan atau perwujudan kekuatan suprastruktur (semesta), nilai kosmologis dan juga nilai kewibawaan. Selain itu, keris juga mempunyai nilai estetika sebagai pelengkap kostum, adat, seni, budaya dan juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena keris juga mempunyai nilai jual sesuai kualitas keris.
Sejarah keris dengan segala bentuk, filosofi, nama, dan cerita yang menyertainya memang banyak ditemukan di nusantara terutama di jaman kerajaan, lebih khususnya di pulau Jawa. Pada perkembanganya sampai di saat ini dimana tahun sudah memasuki 2018, pandangan dan penilaian terhadap keris sebagai warisan leluhur bangsa masih belum bisa diseragamkan. Penilaian dan tanggapan warga masyarakat tentang keris masih saja ada yang selalu mengkaitkan benda pusaka ini dengan hal yang berbau mistis dan unsur musyrik atau kesyirikan. Padahal pendapat yang mengkaitkan keris sebagai benda klenik dan senjata pusaka yang mengarah kepada kemusyrikan tidaklah benar. Karena masalah syirik atau kemusyrikan bukanlah salah pada benda atau senjata, tetapi pada niat hati dan perilaku manusianya terhadap benda atau senjata tersebut.
Proses pembuatan keris ada masa lampau tidaklah mudah dan sembarangan, karena itu dari filosofi dan makna pada setiap jenis keris sangat berkaitan erat dengan pembuat atau empu keris serta situasi masa di waktu itu. Makna keris luk 7 tentu saja bisa berbeda dari makna keris luk 9, maupun keris luk 13. demikian juga untuk pamor keris dan dapur keris. Filosofi keris, adab, dan budaya sangatlah berkaitan, terlebih lagi pada masa kejayaan raja-raja di nusantara, terutama raja-raja di tanah Jawa. Keris tidak hanya sekedar sebagai pusaka maupun senjata alat perang, namu keris juga sangat kental dengan nilai-nilai adab dan filosofi atau pesan moral dari mulai jumlah luk, pamor, dapuran, sampai perlakuan dan tata cara menaruh keris.
Makna keris dalam pakaian adat jawa tentu saja mengandung arti tersendiri dan berbeda ketika dipasang di bagian belakng tubuh, dengan keris dipasang di bagian depan. Kenapa keris ditaruh dibelakang tubuh pemakainya ataupun kapan saat keris ditaruh di bagain depan, tentu saja disesuaikan dengan tujuan dan situasi tertentu. Filosofi keris, adab, dan budaya yang bisa diberikan sebagai contoh sederhana agar kita sebagai anak bangsa merasa bangga dengan keris dan tidak malah menjauhi keris karena pemahaman antipati dan unsur musyrik yang salah kaprah, adalah pada tata cara serah terima keris.
Saat orang yang lebih tua memberikan keris kepada orang yang lebih muda, maka yang dipegang oleh pemberi adalah bagian leher keris dengan tangan kanan, dan diterima oleh yang lebih muda dengan kedua tangan pada bagian bawah keris. Dari hal ini dapat dilihat bahwa leluhur kita sejak ribuan tahun lalu sudah mengajarkan etika baik atau adab, atau unggah-ungguh yang terpuji (akhlakul karimah). Kemudian cara mencabut keris dari warangkanya juga ada etika luhur yang disampaikan, dimana cara mencabut keris yang benar adalah keris diberdirikan, gagang keris dipegang dengan tangan kanan, kemudian yang dicabut adalah warangkanya dengan tangan kiri. Hal ini dimaksudkan agar kita bisa langsung melihat keindahan pamor keris, dan mendidik kita untuk mau menghormati atau menghargai jerih payah pembuat keris yang menciptakan pamor keris.