Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE atau Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang digunakan untuk mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ITE ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun yang ada di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Tujuan dari UU ITE adalah :
– untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik
– untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab
– untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia
– untuk mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
– untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Sampai 2016 peran dan manfaat UU ITE semakin dirasa perlu dan penting untuk menjadi salah satu rambu-rambu dan alat kontrol bagi masyarakat, publik figur, suku, adat, budaya, departemen, dan lembaga dari hal dan informasi yang tidak benar atau fitnah. Selain hal yang berbau fitnah, konten yang dishare di internet juga dilarang karena mengandung hal buruk, seperti pelecehan, pencemaran nama baik, adu domba, penipuan, penghinaan, penistaan, isu SARA, hasutan, provokasi, kabar bohong atau Hoax, ajakan makar, terorisme, dan sebagainya, Sebagaimana diketahui bahwa saat ini sebuah informasi sangat mudah untuk disebarluaskan melalui bermacam media, terutama melalui media sosial dan internet. Melalui smartphone, tablet, maupun laptop yang terhubung ke internet bisa dengan mudahya kita mengakses dan berbagi bermacam konten, informasi, postingan status atau cuitan, artikel, gambar, animasi, dan juga tayangan video yang seakan tak terbatas setiap harinya. Kemajuan teknologi informasi dan kemudahan semua orang untuk ber-internet ria itulah yang terkadang menjadikan ajang untuk saling menghujat, memperolok (bullying) dan juga untuk saling serang atau bentuk kejahatan lainnya.
Sejak lama ada istilah mulutmu adalah harimaumu, saat ini juga sudah berlaku istilah bahwa jari-jarimu adalah cakarmu, sehingga sudah selayaknya dimanapun kita berada dan dengan media apapun kita berkomunikasi dan terhubung dengan orang lain, maka sudah sewajarnya kita untuk tetap beretika, bersopan-santun, beradab, serta tahu aturan juga tata krama dalam berinteraksi offline maupun online. Sehingga apa yang kita share atau sebarkan ke media, termasuk di internet bukanlah suatu perbuatan atau konten yang melanggar hukum. Demi kesempurnaan dari fungsi UU ITE, termasuk juga dengan tujuan agar tidak “dianggap” terlalu membatasi kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau kritikan terhadap perilaku pejabat dan kebijakan pemerintah, maka pada 27 Oktober 2016 telah terjadi Revisi UU ITE yang terdiri dari 4 poin perubahan.
Revisi UU ITE pada 2016 terdiri dari beberapa poin seperti berikut :
1. penambahan pasal hak untuk dilupakan atau “the right to be forgotten“. Hak tersebut ditambahkan pada Pasal 26. Intinya, tambahan pasal ini mengizinkan seseorang untuk mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, tetapi diangkat kembali.
2. penambahan ayat baru pada Pasal 40. Pada ayat ini, pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar UU. Informasi tersebut terkait dengan terorisme, pornografi, SARA, , pencemaran nama baik, dan lain-lain. Jika ada situs berita resmi yang dianggap melanggar UU, maka penyelesaiannya akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.
3. menyangkut tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan. UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.
4. menyangkut pemotongan masa hukuman dan denda. Ancaman hukuman penjara diturunkan dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukuman penjara di bawah 5 tahun. Hukuman denda berupa uang juga diturunkan. Dari yang maksimal Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Selain itu juga menurunkan ancama pidana kekerasan Pasal 29, yang sebelumnya paling lama 12 tahun diubah menjadi 4 tahun, dan denda Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta. (@denbow, sumber dari wikipedia.org & kompas.com)