Jawa merupakan salah satu wilayah dan suku di nusantara yang sejak jaman nenek moyang telah begitu banyak memiliki tatanan, falsafah atau filosofi, adat-istiadat, budaya, kesenian, mitos, sejarah, legenda, pantangan, anjuran, ajakan, sindiran, nilai-nilai luhur, budi pekerti, olah kanuragan, olah tanah, peternakan, neptu, weton, hari pasaran, dan sebagainya, termasuk untuk karya sastra yang berwujud bahasa, huruf, dan angka Jawa. Suku Jawa merupakan satu-satunya sukuĀ di Indonesia yang tidak hanya memiliki bahasa dan tata bahasa yang bertingkat, namun juga satu-satunya suku yang memiliki huruf dan angka sendiri, yaitu huruf Jawa yang dikenal dengan Hanacaraka dan aksara Murda. Informasi budaya yang berkaitan dengan karya sastra berupa tata bahasa Jawa, kita mengenal 3 tingkatan bahasa Jawa, yaitu bahasa Jawa ngoko (lugas), Jawa halus (krama madya), dan krama inggil (hinggil). Penggunaan urutan bahasa Jawa ngoko adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama yang sama tingkatan umur, sudah akrab, dan sejajar status sosialnya. Tingkatan bahasa Jawa halus digunakan sebagai alat komunikasi dengan sesama maupun dengan orang lain yang baru dikenal, dengan kata-kata yang digunakan tidak ngoko lagi, tetapi dengan kata dan kalimat yang lebih halus (krama madya).
Sementara untuk penggunaan bahasa Jawa krama inggil adalah komunikasi bahasa Jawa yang digunakan antara orang yang lebih muda usianya terhadap para orang tua, kakek nenek, majikan, atasan, guru, seperti halnya komunikasi yang digunakan para abdi dan punggawa kraton terhadap putra mahkota, permaisuri, ibu suri, dan raja Jawa. Kata dan kalimat yang digunakan adalah menggunakan kata dan kalimat yang tingkatannya paling tinggi atau krama inggil. Contoh kata dalam tingkatan bahasa Jawa dari ngoko, madya dan inggil untuk makan adalah madhang, maem, dhahar. Untuk tidur adalah turu, tilem, sare. Untuk pergi adalah lunga, kesah, tindak. Selain bahasa, dalam sastra Jawa juga dikenal adanya aksara Jawa dan angka Jawa. Mitos atau asal usul dari huruf Jawa yang sangat dikenal adalah babad tanah Jawa dari legenda Ajisaka dan Dewata Cengkar, dimana inti pesan dan filosofi yang ada di huruf Jawa (Hanacaraka) adalah tentang kesetiaan, kesaktian, dan egoisme para ajudan Ajisaka pada waktu itu dalam memegang amanat. Untuk angka Jawa tidak hanya sekedar tulisan saja, namun juga ada nama sebutan untuk bilangan dalam pengucapannya. Para leluhur dan nenek moyang kita sebagai orang Jawa sangat sering dan kental dengan filosofi atau falsafah dan nilai-nilai luhur, baik nilai secara tersirat (pesan rahasia) maupun tersurat terhadap hasil budaya dan karya sastra mereka, termasuk dalam hal sebutan, pelafalan, atau pengucapan bilangan Jawa. Nilai luhur dan pesan kebajikan dalam pengucapan bilangan Jawa dimulai pada angka 21, dimaksudkan bahwa pada usia 21 manusia sudah mulai memasuki pada masa kedewasaan dan kemandirian dalam hidup. Sebagai catatan, sebutan angka 1 sampai 10 dalam bahasa Jawa adalah ; siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, songo, sepuluh.
Berikut ini filosofi atau falsafah bilangan Jawa :
Bilangan 20 dalam bahasa Jawa dilafalkan dengan kata “rongpuluh“, namun untuk angka berikutnya yaitu 21, 22, dst, tidak diucapkan dengan “rongpuluh siji, rongpuluh loro, dst” tapi diucapkan dengan “selikur, rolikur, dst“. Makna kata “likur” pada bilangan inilah yang memiliki nilai pesan yang merupakan singkatan dari “Lingguh Kursi” artinya duduk di kursi. Filosofinya adalah bahwa manusia pada usia 21 sampai 29 tahun sudah dewasa dan pada umumnya sudah mulai mendapatkan kedudukan sesuai dengan cita-citanya masing-masing, untuk ditekuni sebagai bekal di masa berikutnya. Pada bilangan 25 juga terjadi pelafalan yang tidak urut seperti sebelumnya, yang tidak disebut dengan “limolikur atau limanglikur“, tapi disebut dan diucapkan dengan “selawe“. Filosofi sebutan angka “selawe” ini adalah singkatan dari kata “seneng-senenge lanang lan wedok“, yang artinya manusia pada usia 25 tahun akan mendapatkan puncak asmara dan kesenangan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan atau pernikahan. Jika dalam puluhan sebutan angka Jawa secara urut dari 10 sampai 90 adalah sepuluh, rongpuluh, telungpuluh, patangpuluh, seket, sewidak, pitungpuluh, wolungpuluh, sangangpuluh.Ā Filosofi pelafalan angka bahasa Jawa selanjutnya adalah pada angka 50 dan 60, yang dilafalkan bukan dengan limangpuluh dan enempuluh, tapi dengan seket dan sewidak.
Makna dan filosofi pada angka seket atau 50 adalah singkatan dari seneng kethonan yang artinya usia dimana sudah seharusnya manusia itu suka memakai kopiah dan atribut keagamaan dalam upaya untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah dan berbagi dengan sesama. Makna lain, bisa juga diartikan bahwa pada usia 50 tahun manusia suka memakai penutup kepala untuk menutupi rambutya yang mulai beruban maupun karena kepala yang mulai botak. Sedangkan untuk filosofi sewidak atau angka 60 merupakan akronim dari kalimat sejatine wis wayahe tindak, yang artinya sebenarnya sudah waktunya pergi, yaitu bahwa manusia pada usia 60 tahun sudah matang jiwanya untuk menjemput ajal, dengan semakin bertingkah laku yang terkontrol, beramal dan ibadah yang ikhlas, serta mampu memberikan pesan serta warisan akhlak, budi pekerti, maupun harta yang baik kepada para anak dan generasi penerusnya. Demikian artikel budaya tentang filosofi angka hitungan Jawa yang diolah dari berbagai sumber, semoga bermanfaat. (@denbow)
1 Comment
Cagar Budaya Di Jawa Tengah | Informasi Sejarah, Budaya, Wisata Kebumen
(May 12, 2017 - 6:30 pm)[…] berhasil menguasainya sampai 3,5 abad lamanya. Pola hidup, intuisi, adab, perilaku, adat-istiadat, filosofi, tata nilai, dan kebudayaan para pendahulu atau nenek moyang Indonesia sudah ada sejak jaman dulu […]