Artikel budaya tentang Belajar dari Bilung. Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang sangat populer, terutama di Jawa, wayang berkembang dengan banyak jenis, wayang golek, kulit bahkan suket. Asal mula kata wayang berasal dari kata ‘Ma Hyang‘ yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna ‘bayangan’, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir/layar hanya bayangannya saja. Salah satu tokoh pewayangan yang sangat terkenal bukan hanya karena bentuknya yang unik tapi juga karakternya adalah Bilung atau Mbilung, Jika Togog ibarat sebuah mata uang logam yaitu salah satu sisi kepingnya, maka Bilung adalah sisi lainnya. Dua sejoli ini adalah pasangan yang boleh disebut sehidup semati. Walau tak pernah ada lakon wayang yang menjadikan kedua wayang senior itu binasa. Meski selalu kompak, tidak sulit membedakan keduanya.
Punakawan sabrang ini memiliki postur tubuh yang lucu namun lebih tepat dibilang absurd cenderung nyentrik. Bilung sendiri memiliki kekhususan suara yaitu cempreng, seperti suara burung betet. Dalam salah satu lakon wayang “Bagong Dadi Guru” (Bagong menjadi guru) Bilung menjelaskan bahwa Togog dan dirinya semula berasal dari kahyangan. Togog adalah tokoh tertua dari empat bersaudara Togog, yaitu Semar, Bilung dan Bathara Guru. Punakawan kurus kerempeng itu sendiri bergelar Bathara Sarawita, ketika masih bermukim di kahyangan. Takdir menggariskan Bathara Guru bertahta di kerajaan para dewa. Semar, yang kelak kemudian bersama anak-anaknya, menjadi pengasuh para raja golongan kanan dan keturunannya. Togog dan Bilung menjalani tugas sebagai pendamping para raja negeri seberang. Resiko yang dijalani Bilung dan Togog selalu dianggap menjadi tokoh antagonis karena menjadi bagian dari rezim tiran.
Selalu disebut wayang golongan kiri karena ia mendampingi para Ratu Sabrang yang berwatak otoriter, arogan, serakah dan takabur. Dalam lingkar kekuasaan tirani itulah peran Togog dan Bilung hadir sebagai penyeimbang (bargaining position). Peran yang sama juga dijalankan oleh Semar dan tiga anakknya. Namun sejujurnya tanggung jawab Bilung lebih berat dan lebih berrisiko. Semar menjalani peran sebagai penasihat raja- raja berwatak baik dan mudah diatur. Tugas Bilung lebih berat karena ia menghadapi penguasa lalim yang sulit dinasehati. Duet Bilung – Togog adalah representasi suara rakyat jelata, menasehati akan hal-hal yang baik dan ucapannya cenderung diabaikan. Meskipun pada saat ada sebuah kepentingan, suara rakyat jelata dianggap reprensentasi suara Tuhan. Menasehati penguasa lalim adalah sebuah ibadah yang mulia. Bilung menjalani itu bukan semata statusnya, namun dengan etika, loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Menghadapi raja paling arogan sekalipun, Bilung selalu menasehati dengan cara yang baik. Ia mengritik dalam dialog yang formal, bukan dengan cara demonstrasi membuka aib penguasa.
Pada sebuah lakon wayang “Antareja Mbalela”, Bilung menunjukkan cara santun, elegan dan bermartabat untuk menolak perintah majikan yang tidak sesuai hati nuraninya. Bilung mengajarkan loyalitas dan dedikasi seorang rakyat kepada penguasa. Bilung memiliki kekuatan yang sangat mungkin bisa mengalahkan siapapun termasuk majikannya. Namun itu tak menjadi alasan bagi Bilung untuk tidak taat atau tidak hormat. Meski sakti, sepanjang penguasa tak mengajak kepada maksiat, mbilung tak akan menolak. Namun ketika penguasa menyeleweng dari norma kebenaran, maka itu tugas Bilung untuk menasihati secara terhormat. Dalam konteks masa kini, Bilung dan Togog adalah sosok purba dan mungkin dianggap ortodok yang sudah tak populer di mata semua orang. Mungkin itu juga yang membuat masyarakat dijangkiti penyakit lupa berjamaah pada keluhuran etika kerakyatan yang diajarkan oleh Bilung.
Ketika Bilung mengajarkan loyalitas, masyarakat sekarang bisa dengan mudah mengkhianati koalisi yang dibangun dengan rasa saling percaya. Bahkan penghianatan sebuah poros yang dibangun dengan kesepakatan, yang seharusnya selalu tetap berada di tengah-tengah. Ketika Bilung mengajarkan etika penguasa, masyarakat lebih suka dengan cara arogan, saling cela, membuka aib dan saling memfitnah. Terlebih dalam masalah kekuasaan, tontonan yang di tunjukkan oleh para pemimpin kepada kita setiap hari adalah kepentingan sesaat berpolitik yang membuat bangsa ini mengelus dada, hilangnya etika dan estetika di pentas berpolitik dari wakil-wakil rakyat jelata.
Hari ini para politisi saling mencaci. Rasa takabur yang berlebihan membuat golongan tertentu menjadi terlalu over percaya diri lalu tidak lagi menghormati janji yang diembannya sebagai wakil rakyat. Semua mendidik masyarakat untuk semakin meyakini bahwa dalam politik, ambisi dan hawa nafsu adalah kepentingan nomor satu. Bilung hanyalah rakyat, tetapi ia juga mengajarkan etika menjadi elite yang bermartabat. Ia tak akan melakukan kudeta hanya karena merasa lebih kuat. Ia tak akan korupsi meskipun ada kesempatan, Bilung tak akan berkhianat ketika beda pendapat. Ia tak akan oportunis hanya karena ambisi. Tak lantas menjadi kutu loncat hanya karena sebuah kepentingan Bilung adalah pelajaran berharga bagi kita untuk mengerti makna menghormati dari banyak hal. Belajar dari Bilung, Bilung adalah rakyat, dan rakyat adalah kita yang suaranya seharusnya terwakili, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Rakyat tak pernah punya kuasa untuk menagih janji, apalagi meminta bukti. Rakyat hanya selalu berharap wakil-wakilnya menjaga komitmen janji yang sering diucapkannya. Demikianlah artikel budaya dan nilai-nilai pewayangan tentang belajar dari Bilung, Semoga bermanfaat. (dari berbagai sumber/Ken)
1 Comment
Yon Sumaryono
(January 22, 2014 - 2:35 pm)(Y)