Monumen Palagan Sidobunder

Monumen Palagan Sidobunder lama dan baru

Pengalaman Pertempuran di Sidobunder

2 September 1947
Oleh : Imam Soekotjo
(Artikel dan Tulisan dari : Mas Toto Karyanto )

Menjelang Subuh, saya dan Djokonomo terbangun karena mendengar rentetan tembakan.
Djokonomo wah,berkata,aku ngimpi“ jungkatan, rambut

(wah…aku bermimpi sedang bersisir,–pen).Tak lama tapi  kemudian datang Soejitno yang memberi tahu bahwa Regu I diperintahkan untuk menggabungkan diri dengan induk pasukan.

Dalam upaya mengumpulkan semua teman yang saat itu berjaga di pos-pos terpencar, saya berpisah dari Djokonomo. Sehingga Regu I terpecah menjadi dua kelompok kecil. Satu kelompok dipimpin Djokonomo, kelompok kecil lain terdiri dari lima orang yaitu saya, Pramono dan tiga rekan lain. Jarak antara satu dan lain kelompok sekitar 30m. Meninggalkan Dukuh Gringgul ke pusat Desa Sidobunder yang berjarak sekitar 100m.

Ketika kelompok dua mendekati Desa Sidobunder, datang seorang anggota TP (berbaju putih, berkalung sarung dan membawa karaben. Di punggungnya terdapat luka kecil karena terserempet peluru. Ia bilang kalau Belanda sudah menduduki markas kita. Atas kesepakatan dengan kelompok dua, rombongan kami berbelok ke Selatan menerobos sawah melalui tanggul yang terendam air semata kaki). Tujuan kelompok dua adalah menghindari Desa Sidobunder ke desa lain di sebelah Timur.

Saat berada di titik A (lihat gambar), saya dan Pramono terpeleset dari jembatan bambu dan masuk kali berair setinggi dada. Jembatan bambu itu ternyata ikut roboh. Teman lain yang berada di belakang kami kemudian segera masuk parit. Hujan yang turun selama beberapa hari terakhir telah merendam persawahan di Desa Sidobunder.

Kelompok dua meneruskan perjalanan ke titik B yang berada di desa sebelah Utara Sidobunder karena berdasarkan perkiraan kami desa di Timur jaraknya lebih jauh. Di desa Utara itu tidak terdengar ada tembakan. Sejak datang, kami memang belum melakukan pemeriksaan medan. Perjalanan ke desa di Utara dilanjutkan dan menuju titik C, kemudian menuju ke desa sebelah Timur untuk mencari dan menggabungkan diri dengan induk pasukan. Ternyata, di titik C ini, kami bertemu dengan kelompok lain yang dipimpin Suryoharyono, Djokowoerjo Kiratijo dan Rinanto. Kami tidak tahu bahwa titik C masih berada di Desa Sidobunder sebelah Tenggara. Kami lalu bersepakat menuju desa sebelah melalui pematang sawah untuk menghindari pasukan Belanda.

Baru beberapa langkah meninggalkan pinggir desa, pasukan kami disambut rentetan tembakan senjata otomatis dari desa di sebelah Timur Sidobunder. Teman-teman lari pontang panting, masuk ke desa lagi dan tak lama berselang pasukan Belanda bergerak dengan cara berbanjar menuju posisi kami (titik D) di bawah lindungan tembakan brengun. Kami bersiaga di belakang pepohonan atau semak belukar dan segera melepaskan tembakan kea rah pasukan Belanda itu. Korban di pihak Belanda mulai berjatuhan dan gerak maju mereka terhenti. Beberapa saat berikutnya, serangan pasukan kami mulai mengendur karena beberapa teman telah kehabisan peluru. Tapi ada juga yang senjatanya macet. Melihat kondisi itu, pasukan Belanda bergerak lagi dan menghujani tembakan dengan senjata otomatisnya.

Jumlah peluru yang saya bawa di kantong (howderbak) dari Kebumen hanya 20 butir. Di dalam kontak tembak (voorcontact) ini , saya telah menghabiskan 10 butir dan ada yang mengena sasaran. Setelah peluru habis, di antara kami ada yang menyela, “ ayoe laridesa ksebelah.. di Selatan”.

Lalu Suryoharyono berteriak’ “ Jangan berta ada waktu ..”.

Saya melepas lima tembakan lagi, juga Pramono. Gerak pasukan Belanda terhenti lagi. Kami mundur dan terpecah menjadi tiga kelompok. Yaitu kelompok Suryoharyono, Djokowoerjo dan Rinanto serta beberapa teman. Terakhir adalah kelompok saya, Gunarso, Pramono dan seorang teman.

Ketika kami melewati parit di desa sebelah Selatan (titik E), saya masih sempat melihat Haryono dan beberapa teman sedang mencari tempat persembunyian. Saya dan Pramono lari secepat kilat dan beberapa kali jatuh bangun karena sawah licin dan tanggul yang dilewati tergenang air. Di titik F, kami melihat pasukan yang bergerak secara berbanjar telah lewat pinggiran desa menuju ke arah Timur. Kegembiraan muncul karena kami mengira pasukan itu adalah pasukan Republik Indonesia. Begitu melihat mereka berhenti dan menyiapkan serangan, kami tersadarkan bahwa pasukan itu adalah tentara Belanda.

Satu diantara kami berteriak “ Belanda…. !”

Tak lama berselang, desing peluru membahana di sekeliling kami. Spontan kami tiarap dengan kepala menghadap ke Utara (arah Desa Sidobunder). Rupanya ada tiga anggota kelompok pasukan Suryoharyono yang memisahkan diri dan mencoba bergabung dengan kami. Ternyata, belum sampai tujuan, ketiganya kena tembak dan gugur satu demi satu. Tembakan senjata otomatis terus menuju arah posisi kami. Dengan sisa peluru, kami bergantian membalas tembakan satu-satu dan berhasil membungkam dua bendgun. Setiap habis melepas satu tembakan, saya dan teman-teman berguling dan merayap secara bergantian agar dapat segera masuk parit. Saat mendekati Pramono, saya mendengar ia mengaduh. Itulah kata terakhir sebelum ia gugur.

Saya terus merayap, bergerak mundur menjauhi jenasah Pramono sambil membuang senjata yang tak berpeluru lagi. Menggantinya dengan golok yang senantiasa terhunus sambil menunggu dan berpasrah diri kepada Yang Kuasa. Dalam posisi terlentang, saya melepas semua baju, celana dan sepatu. Hanya menyisakan celana dalam yang melekat di tubuh. Pasukan Belanda terus menghujani posisi kami dengan tembakan senjata otomatis meski tak terdengar ada tembakan balasan. Ketika tembakan berhenti, dari arah belakang, terdengar suara orang berbicara dalam bahasa Madura dan Belanda. Tiba-tiba ada yang berteriak “ overgevenangkat) !”,tanganpi (saya tetap berta bergerak. Pura-pura mati.

Dari sudut mata kanan yang tak terendam air, saya melihat dua pasang sepatu boot mendekat dan bayonet menyentuh kepala. Saya merasakan kedua bahu ini diangkat dan terdengar suara : “Hy is alsebanyakdoodduakali…”dan menghempaskan tubuhku. Meski sakit, saya tetap tak bersuara. Setelah itu, kepala saya ditendang sebanyak empat kali. Saya bersyukur tidak mengenai mata kanan dan tetap menjaga tak bersuara. Mereka lalu bergerak beberapa langkah, kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Mungkin untuk meyakinkan diri bahwa saya telah (dianggap) benar-benar mati.

Matahari terus meninggi dan semakin terik. Tapi saya tetap tak bergerak atau bersuara sedikitpun. Sekitar mendekati waktu shalat Ashar, datang beberapa orang dengan dialek setempat. “Kang… wis pada mati kab-pehn)!”(mas.…Mereksemua-cakap,telahrus saya menyimak barangkali ada bahasa lain selain dialek lokal atau bahasa Belanda. Ternyata tidak ada dan saya merasa aman, kemudian menegakkan kepala sambil berkata:

“ Pak…-neLondownten pundi (pak..pasukan Beland kepada mereka. Orang yang terdekat dengan posisi saya menjukkan kekagetan.

“ lho… isih ana sing urip denekan (lho… tern “ Iyo -…neLondowonten pundi ?”, kata saya mengulan “ Teng Ler (di sebelah Utara)”, jawab mereka “Sing nang Kidul kono… (yang ada di Selatan..b “Sampun Ngaler sedaya … sudah ke Utara semua )
Setelah dibantu berdiri, saya minta diantar menuju pasukan kami. Dua orang diantara mereka mengantar saya menuju desa di sebelah Selatan dan melewati jalan yang dipakai pasukan Belanda untuk menyiapkan serangan semalam. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri melihat jenasah Gunarso. Beberapa orang penduduk masih merawat jenasah teman-teman yang gugur. Kedua orang yang menolong saya, sampai saat ini tak pernah tahu di mana mereka tinggal.Sketsa Pergerakan Pasukan Tentara Pelajar (Imam Soekotjo)

KENANGAN MENJADI STAF PUTRI
MARKAS PUSAT PELAJAR

Oleh : Atiatoen Wirjosoemarto

Penugasan Pertama

Tahun lalu, ketika saya menerima tugas pertama setelah mengikuti latihan dasar kemiliteran di Militer Akademi Kotabaru bersama beberapa teman asrama dan sekolah (SGP) Jalan Jati Yogyakarta, saya dan mbak Kushartini dikirim ke Mojoagung Mojokerto Jawa Timur untuk mengirim sejumlah bahan makanan kering (dendeng) dan obat-obatan bersama sepasukan anggota Ikatan Pelajar Indonesia bagian Pertahanan yang dipimpin oleh Purbatin. Kami berangkat menggunakan kereta api pagi yang menarik dua gerbong. Sampai di Solo, perjalanan aman. Menjelang masuk hutan jati Mantingan, Purbatin memerintahkan masinis menghentikan kereta dan ia turun bersama empat anggota pasukan untuk memeriksa keadaan. Menurut cerita yang mereka dengar, tiga kawasan hutan yaitu Mantingan, Saradan dan Caruban dikuasi oleh gerombolan perampok kejam. Sekitar satu jam kemudian, kereta itu berjalan. Hal yang sama terjadi di kawasan hutan Saradan dan Caruban. Menjelang maghrib, kereta memasuki stasiun madiun dan berhenti sekitar dua jam untuk menaik-turunkan barang dan menambah air. Kesempatan ini kami gunakan untuk membersihkan badan dan menghilangkan penat.

Perjalanan ke stasiun Mojokerto dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, saya dan mbak Kushatini sesekali memejamkan mata. Sementara itu, beberapa anggota pasukan nampak asyik membicarakan cerita pertempuran di sekitar Surabaya yang menelan korban ratusan pejuang. Yang terkena luka tembak, pecahan mortir atau tertusuk bayonet sebagian dirawat di Rumah Sakit Darurat PMI yang menjadi tujuan utama perjalanan kami dari Markas Pusat Pelajar di Jalan Tugu Kulon 70 Yogyakarta. Menurut keterangan yang kami terima sebelum berangkat, tempat perawatan korban pertempuran Surabaya ada di lingkungan SGB Katholik (bruderan).

Kami sampai di stasiun Mojokerto dini hari, Di sana telah menunggu beberapa anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar, nama pasukan Ikatan Pelajar Indonesia Bagian Pertahanan di Jawa Timur). Kami dan barang bawaan segera dinaikkan ke atas dua truk militer tanpa upacara khusus. Mas Isman, begitu Purbatin memanggil nama komandan pasukan TRIP yang menyambut kedatangan kami di stasiun memberi aba-aba agar truk segera dijalankan. Di tengah pekatnya malam itu, saya tak dapat melihat keadaan di luar. Sekitar sejam perjalanan, kami telah memasuki kompleks rumah sakit. Saya dan mbak Kushartini ditempatkan di ruang depan bersama beberapa orang perawat. Sedangkan Purbatin dan pasukannya ditempatkan di asrama yang cukup jauh dari bangsal perawatan.

Setelah mandi dan menyantap makanan yang telah disiapkan oleh kepala perawat, kami beristirahat di kamar. Saya tak mampu memejamkan mata karena di ruang sebelah suara-suara erang kesakitan tak pernah berhenti. Hari pertama kami dibebaskan dari semua tugas merawat korban di bangsal perawatan. Mbak Kushartini tidur dan mulai terdengar suara dengkurnya. Perjalanan yang sangat melelahkan selama hampir sehari semalam. Saya baru dapat tidur di siang hari sampai sore.

Melihat keadaan korban pertempuran 10 November 1945, hati ini seperti tertusuk benda sangat tajam. Kekejaman penjajahan dan peperangan terlihat sangat jelas, tak membedakan siapapun mereka. Ada yang remuk kaki dan beragam luka tembak. Penugasan seminggu di rumah sakit darurat PMI sangat berkesan, tapi tak menyurutkan niat kami untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Sebuah harga yang sangat mahal, tak sebanding dengan apapun.

Penugasan Kedua

Hari terakhir ujian kenaikan kelas II baru saja usai, saya ingin bergegas ke kamar asrama yang letaknya bersebelahan dengan ruang kelas. Belum sempat melangkah jauh, seseorang memanggil nama saya. Segera saja saya melangkah, menuju arah sumber suara. Ternyata yang memanggil adalah Kepala Sekolah yaitu Ibu R.A. Oemijatie (baca Umiyati), adik kandung dr. Sutomo, salah satu pendiri Budi Utomo. Beliau berperawakan kecil, tapi lincah dan tegas. Hampir semua siswi SGP tahu tentang kemampuan beliau dalam menjiwai masing-masing pribadi.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, saya segera mendekat. Ibu Umiyati tampak memegang sepucuk surat. Beliau lalu membuka pembicaraan.

“ Atiatoen … ini ada surat untukmu dari Ma kemudian beliau menyerahkan surat itu kepada saya. Tentu sebuah surat tugas, saya menduga-duga isinya. Surat itu dibuka dengan pisau perlahan-lahan, kuatir sobek. Pendek

saja isinya. Yaitu perintah untuk segera menyelenggarkan dapur umum dan tugas kepalang-merahan di Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun (sekarang Jl. Pemuda) Kebumen untuk Front Barat. Yang menandatangani mbak Sri Daruni, Kepala Staf Putri Markas Pusat Pelajar Yogyakarta.

Dari stasiun tugu, kereta api yang sebagian besar penumpangnya adalah para pelajar mulai bergerak perlahan. Di gerbong itu ada beberapa teman satu sekolah yang berasal dari Wates dan Purworejo. Di salah satu bangku tak jauh dari tempat duduk saya, terlihat sosok kecil yang tak asing dan selalu menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Bagyo, nama ini kelak menjadi pelawak terkenal di jamannya. Siswa SGL (Sekolah Guru Laki-laki) ini suaranya lantang dengan dialek khas Banyumasan. Sayang sekali, kereta yang membawa rombongan kami hanya sampai di Stasiun Kutoarjo. Perjalanan ke Kebumen saya lanjutkan dengan berjalan kaki dan naik delman karena tak ada moda angkutan lain.

Kepada ayah, saya menanyakan keberadaan dua kakak kandung. Mas Achmad Dimjatie saat itu telah berpangkat Letnan TRI dan mas Affandi yang sering keluar masuk markas Tentara Pelajar Kebumen di Kauman (sekarang jadi gedung SMP Muhammadiyah I Kebumen) bersama Agustinus, putra pendeta Gereja Kristen di dekat stasiun. Kebetulan, sewaktu ibu kandung berjualan beras di pasar, Bapak Pendeta Reksodihardjo adalah seorang pelanggan setia. Jadi, hubungan kami telah berlangsung sejak lama dari masa kanak-kanak. Setelah ibu meninggal tahun 1939, yang menyambung tali silaturahmi adalah mas Pandi (Affandi).

” Pak… selama masa libur ini saya ditugaska pendeta, bapaknya Agustinus’, kata saya samb besok hari akan saya serahkan kepada kepala markas atau wakilnya.

” Sama siapa kamu di sana Toen ?”, tanya aya ” Teman-temanSGP dari Kebumen.. termasuk dik Wasil (Umi Wasilah) dan dik Cini
(Rasini)”, jawab saya menyebut nama dua oran

” Di lumbungbeberapa ikatadapadi yang bisa ditumbuk. Yang lain, kamu cari sendiri. Ayah sementara waktu akan mengungsi di rumah ibu tiri. Ini ada sedikit uang yang bisa kamu pakai untuk membeli garam dan bumbu buat keperluan asrama teman-temanmu di gereja sana”,menyodorkan ayahsejumlah uang yang nilainya cukup banyak.

Surat tugas diterima mas Tjiptardjo, wakil kepala markas. Mas Moedojo sedang ke Purworejo malakukan kordinasi dengan kepala markas TP di sana, mas Pratik (Imam Pratignyo). Dari penjelasan mas Tjip, saya mendapatkan informasi bahwa Markas Pusat Pelajar di Tugu Kulon tengah menyiapkan sebagian besar anggota pasukan yang akan dikirim ke front Barat di sepanjang garis demarkasi yang berbatasan dengan Kali Kemit. Ada yang dikirim melalui markas Karanganyar sebagai pusat komando terdepan. Tapi ada juga yang langsung menuju Puring dan Kuwarasan yang diperkirakan akan menjadi ajang pertempuran besar antara pasukan Republik Indonesia dan tentara pendudukan Belanda serta sekutunya. Markas darurat ini berfungsi sebagai pusat kendali operasi langsung di bawah komando Markas Pusat Pelajar. Karena itu disediakan asrama untuk menampung sementara waktu pasukan yang akan diterjunkan ke titik-titik pertahanan pasukan Republik Indonesia, Mungkin hanya untuk satu dua hari, tapi jumlah mereka ratusan atau ribuan.

Penjelasan singkat wakil kepala markas memberi gambaran yang cukup dalam menyelenggarakan menu bagi para pelajar pejuang kemerdekaan ini. Baik yang disajikan selama mereka menginap maupun sebagai bekal dalam bentuk nasi bungkus (noek). Uang yang saya terima dari mas Tjip diperkirakan tak cukup untuk membeli bahan-bahan makanan meski telah ditambah dengan pemberian ayah. Sebagai penanggung-jawab, saya meminta bantuan pak Pendeta Rekso agar menyiapkan penanak nasi dan pencari kayu bakar. Beliau menunjuk mbak Fatonah yang tinggal di belakang gereja sebagai penanak nasi. Sementara itu, nama si pencari kayu dan keperluan dapur lain tak ingat lagi. Ia seorang lelaki asal Desa Legok di sebelah Barat sungai Luk Ulo.

Di antar teman-teman yang bertugas di asrama, mbak Umiyatun adalah yang tertua. Dia adik kandung mas Martono, komandan Batalyon 300 dan wakil kepala Markas Pusat. Selama bertugas sekitar tiga minggu, mbak Umiyatun sempat dua kali pulang ke rumahnya di Desa Meles, Karanganyar. Dik Cini yang sekampung, tak pernah menengok rumahnya yang ada di desa itu juga. Kedua teman ini masih berkerabat cukup dekat. Saya, dik Wasil dan mbak Hartati yang tinggal tak jauh dari asrama dan markas, sesekali menengok rumah masing-masing. Bahkan, rumah mbak Hartati hanya berjarak kurang dari seratus meter. Karena yang mendapat latihan dasar militer dan kepalangmerahan hanya saya, ketrampilan yang saya peroleh kemudian saya tularkan di sela-sela waktu istirahat. Saya tak pernah memakai atribut lengan (ban) PMI. Yang selalu memakai yaitu Rasini, Umi Wasilah dan Umiyatun. Ketiganya sering bercengkerama dengan anggota pasukan yang memang usianya sebaya.

Saya lebih suka membantu Yu Fathonah di dapur atau mencari bahan sayur dan lauk untuk sediaan hari berikutnya. Pada saat menyiapkan masakan (sayur) untuk makan malam, kami kehabisan kelapa. Saya minta anggota pasukan yang tengah duduk di teras asrama untuk memetik dari pohon yang ada di kebun belakang rumah kami di Pasarpari.

” Siapa yangemetikbisakelapa,m ikut saya !”, Atiatoe

Seorang pemuda berperawakan tinggi mendekat dan menyatakan kesediaannya. Ternyata dia adalah Linus Djentamat dari Kalimantan. Sepanjang jalan, saya dan Hartati tak banyak bicara. Begitu juga dengan Linus. Sesampai di kebun belakang rumah, Linus langsung memanjat pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, sekitar 6 atau 7 meter dengan cekatan.

” Berapa butir yang tua dan muda mbak?”, ter ” Yang tua satu tandan…”,yangjawabmasihAtiatoenmudaterslan

Setelah semua kelapa dikumpulkan, beberapa anggota pasukan yang menyusul ikut rombongan kami ada yang langsung menancapkan linggis dan mengupas kulit kelapa dengan cekatan. Seorang lainnya memanjat pohon nangka yang juga ada di kebun belakang rumah kami. Kelapa dan nangka dibawa dengan pikulan dan kami bergegas kembali ke gereja (asrama). Tak pernah menyangka, peristiwa ini adalah jumpa pertama dan terakhir dengan Linus Djentamat yang pendiam.

Seperti kebanyakan remaja menjelang usia dewasa, anggota pasukan Tentara Pelajar yang dikirim ke Front Barat bersikap wajar. Sesekali mengeluarkan ucapan kotor dan suka menggoda kami baik ketika di dalam, apalagi di luar dapur. Di satu siang yang terik dan panas, seseorang yang dipanggil dengan sebutan Lowo masuk ke dalam dapur dan membuat onar dengan mengambil ubi rebus yang baru saja diturunkan dari tungku. Masih sangat panas. Tanpa pamit dia mengambil beberapa dan menaruhnya di atas daun pisang yang selalu kami siapkan untuk bungkus menu harian.Sambil tertawa terbahak-bahak dia berkata:

” Terima kasih buat singkong rebusnya ya…. teman-teman perempuan yang tengah menyobek lembaran daun pisang untuk pembungkus nasi.

” Dasar kampret !”,…tukRangsinicopemnghardik Lowo de

Bukan malu atau marah, Lowo justru bertambah keras tertawanya. Dan terus menggoda. Minggu terakhir Agustus 1947 semakin banyak anggota pasukan yang dikirim dari

Markas Pusat Yogyakarta maupun sejumlah daerah yang dikerahkan dari markas Purworejo. Dari penuturan mas Tjiptardjo diperoleh kabar bahwa pasukan terakhir akan diberangkatkan dari stasiun Tugu pada tanggal 29 Agustus. Mereka kebanyakan dari Perpis (Pelajar Sulawesi) dan Pelajar Kalimantan. Sedangkan dari Purworejo akan datang pasukan SA/CSA dan TGP. TRIP Jawa Timur dan TP Solo mengirim sejumlah kecil pasukannya. Boleh disebut bahwa Front Barat adalah satu dari beberapa lokasi pengerahan pasukan pelajar pejuang kemerdekaan ini terbesar di tahun 1947.

Kalau tak salah ingat, malam 30 Agustus adalah malam terakhir asrama markas darurat menjadi tempat menginap sementara pasukan Tentara Pelajar. Malam yang cukup dingin untuk ukuran awal musim penghujan. Tidak seperti biasanya, dapur umum menyediakan makan malam dan nasi 50 bungkus tapi dengan porsi sama dengan hari-hari sebelumnya yang disiapkan 100 nasi bungkus (noek). Rombongan terakhir adalah pasukan yang dikirim Yogya dan Purworejo. Tingkah laku mereka seolah ingin melepas semua

”beban”. Adak yangsepertiberteriakesurupan dan beragam
Kepada Umiyatun dan Rasini, Atiatoen sempat menyatakan gundahnya.

”Nganeh-anehi (sangat aneh) tingkah mereka ya keduanya. ” He eh… ”.

” Jangan-jangan…………ahinipertandasebu buruk.. ”, kata pelan.

” Itulah…dik Toen. Saya juga kuatir ..”, sel

Entah sebuah kebetulan atau keberuntungan, beberapa warga masyarakat yang sudah tahu bahwa aula GKJ jadi asrama markas mas TP (sebutan mereka kepada anggota pasukan pelajar pejuang kemerdekaan) mengirim dalam jumlah banyak bahan makanan (singkong dan ketela pohon/ubi jalar), pisang kapok dan raja uter yang enak disantap hangat dengan cara dikukus. Peristiwa serupa berulang pada malam 31.

Selama tiga hari (1 –3 September 1947) markas dan asrama libur. Dari utusan mas Dimjatie, saya mendapat kabar buruk. Firasat kami ternyata benar. Banyak teman kami gugur di medan laga, Front Barat. Tepatnya di Desa Sidobunder, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen. Satu korban atas nama Suryoharyono yang akrab dipanggil Hary di

semayamkan di teras aula asrama sebelum dibawa ke Yogya bersama jenasah lainnya. Bapak Pendeta Reksodihardjo yang menyiapkan peti jenasahnya.

Sebagaimana ditulis mas Djokowoerjo Sastradipradja yang ditugasi menemukan (kembali), mendata dan membawa korban Palagan Sidobunder ke markas Karanganyar, ada 24 anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur. Hanya 20 orang yang diakui dan

dicatat dalam buku sejarah terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi TNI yang berjudu Tentara Pelajar dalam Perang Kemerdekaan dan Pembangunan, tahun 1995. Sisanya yang
4 orang, karena dianggap kurir atau alasan lain, tidak termasuk dalam daftar.

***

BIOGRAFI RINGKAS

ATIATOEN WIRJOSOEMARTO BINTI MOCH.DJADJOELIATIATOEN WIRJOSOEMARTO BINTI MOCH.DJADJOELI

Nama lengkap : Atiatoen binti Mochammad Djadjoeli
Tempat dan tanggal : Purworejo, 17 Juli 1930
lahir
Nama Orangtua : Mohammad Djadjoeli dan Siti Chotidjah
Riwayat Pendidikan : 1. SR (Sekolah Rayat) Sempurna I Kebumen
1937 –1944
2. SGP (Sekolah Guru Putri) Yogyakarta: 1945 –
1950
Riwayat Pekerjaan : 1. Guru Sekolah Darurat : 1948 -1949
2. Guru SR Latihan Rembang I : 1950 –1953
3. Guru SD Pangenrejo I Purworejo: 1953 –
1954
4. Guru SD Panjer III Kebumen : 1954
5. Guru SD Kutosari IV Kebumen : 1955 – 1956
6. Guru SD Kutosari I Kebumen : 1957 –1959
7. Guru SD Kebumen II (Tanjunganom): 1960 –
1962
8. Guru SD Kebumen I : 1963 –1986 (pensiun
pada usia 56 tahun)
Jabatan yang pernah : 1. Staf Putri Markas Pusat Pelajar Yogyakarta:

dipegang 1946 –1947
2. Kepala SD N Kebumen I : 1965 –1986
3. Ketua Seksi Kewanitaan DPD Golkar Kab.
Kebumen: 1984 -1987
Suami : R. Djasmin Wirjosoemarto
Anak : 1. Rr.Jasmiati Dyahkusumaningsih ( meninggal
pada usia 1.5 tahun)
2. R. Kusmantoro (55 tahun)
3. R. Hari Budoyono (54 tahun)
4. R. Toto Karyanto (51 tahun)
5. Rr. Desthorini (meninggal pada usia 22
tahun)
Tanda penghargaan 1. Tanda penghargaan dan Bintang Tentara
Pelajar (1957)
2. Dll.

piagam Tentara pelajar

Semboyan :

” Kesetiaan kami kepada bangsa d Negara dari buaian sampai ke lian

”Kami tak akan kembali ke bangku sebelum penjajah enyah dari bumi

Kata Mutiara :

-Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak

(alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).

-Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin –Dosen ITB)
prasasti monumen pena

admin

Untuk bergabung dengan Group Aku Cinta Kebumen di Facebook, silahkan buka link ini => Aku Cinta Kebumen

5 Comments

Leave a Reply to Jeffrey Andrianto Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *