DINAMIKA SEJARAH KEBUMEN 3

1bDinamika Sejarah dan Sosial Budaya
Kabupaten Kebumen

BAGIAN : 3
Roma dan mengepung benteng yang diduduki pasukan Banyumas dan kompeni dengan membuat parit di sekeliling benteng, sehingga Hanggawangsa (yang memimpin pasukan di tempat itu) merasa khawatir dan secara diam-diam mengirim utusan ke Banyumas dan selanjutnya ke Semarang untuk meminta bantuan kepada Gubernur. [57]
Gubernur segera mengirim bantuan di bawah pimpinan Tuan Mayor melalui Merden, untuk memberi bantuan kepada tentara yang ada di benteng Ungaran. Mengetahui datangnya pasukan kompeni dalam jumlah besar, Mangkubumi membawa mundur pasukannya ke desa Jrakah dan ke Ambal. Saat pasukan kompeni memburu rombongan, raja beserta para prajurit pilihan naik sampan, sedang pasukan dalam air dipimpin Mas Rangga dan pasukan yang akan melawan kompeni di pinggiran sungai, dipimpin Tumenggung Kartanagara dari Roma dan Ngabèhi Panjer. Setelah pertempuran usai, Pangéran Mangkubumi bergerak ke arah timur dan pasukannya diistirahatkan dengan mendirikan pesanggrahan di desa Benda (Mirit). Pasukan kompeni di bawah pimpinan Tuan Mayor Hendrik Kalirek, Jongho, Kapten Usar, Kapten Uce dan Letnan Kurnet berkumpul di Mreden (Prembun). Pertempuran berlangsung di alur (selatan) aliran sungai yang mengalir di timur Mirit, di mana pasukan Mangkubumi membuat pertahanan di bagian timur sungai dan kemudian menghadang kedatangan pasukan musuh yang terdiri dari kompeni dan pasukan Banyumas. Dalam pertempuran di dekat Sungai Bagawanta, pasukan kompeni dikalahkan dan Mayor Clerq gugur di medan perang pada 12 Desember 1751. Setelah perang usai dan berlangsung Perjanjian Giyanti, wilayah Bagelèn oleh Pangéran Mangkubumi diserahkan di bawah pengawasan Pangéran Purubaya. [58]

Perjanjian Giyanti (13 Pebruari 1755) sebagai bentuk perjajian dan rekonsiliasi antara pihak VOC dengan Pangéran Mangkubumi, yang menyetujui akan mengangkatnya sebagai sultan. Pangéran Mangkubumi akan memiliki kekuasaan atas setengah daerah pedalaman kerajaan Jawa, sehingga di samping Susuhunan Paku Buwana III, Pangéran Mangkubumi juga akan memerintah propinsi-propinsi dan distrik-distrik yang pada pembagian jatuh pada pihaknya. [59] Peristiwa ini yang dikenal sebagai “palihan negari”, membawa konsekwensi terjadinya perubahan atas peta Mataram, dimana tanah-tanah Paku Buwana dan Pangéran Mangkubumi saling tercampur kecuali di mancanegari.

Menurut catatan Hartingh, negarigung dibagi dua, atas wilayah kekuasaan Pangéran Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwana III yang masing-masing sebesar 53.100 cacah. Tanah-tanah ini terutama tang berbentuk lungguh, sedangkan tanah yang sesedesa atau sekumpulan desa diserahkan kepada dua raja itu masing-masing, sehingga pengelolaannya bercampur. Sedangkan pembagian di mancanegari dilakukan daerah demi daerah, dimana Susuhunan Paku Buwana III mendapatkan 32.350 cacah sedang Pangéran Mangkubumi 33.950 cacah; perolehan Pangéran Mangkubumi lebih luas karena keadaan tanahnya tidak begitu subur. Dari daerah-daerah yang dimaksud, Susuhunan Paku Buwana III memperoleh: Jagaraga, Panaraga, separuh Pacitan, Kediri, Blitar dengan Srengat (ditambah Lodaya), Pace (Nganjuk Berbek), Wirasaba (Majaagung), Blora, Banyumas, Kaduwang. Pangéran Mangkubumi memperoleh: Madiun, Magetan, Caruban, separoh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Majakerta), Jipang (Bojanegara), teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu Wirasari) dan Grobogan. Jika secara keseluruhan dijumlah, masing-masing raja menguasai 172.500 cacah, yang dalam perkiraan Hageman jika setiap rumah tangga memiliki enam anggota, maka total penduduk Jawa di luar wilayah pesisiran (yang dikuasai Belanda), berjumlah sekitar 1.035 000 orang. [60]

Daftar registrasi tanah Mataram yang terkumpul dalam Serat Klepu diganti dengan kompilasi baru oleh Susuhunan Paku Buwana III dan Sultan Hamengkubuwana I, dalam bentuk Serat Ebuk Anyar (buku kas baru) untuk pengregistrasian kembali tanah-tanah yang termasuk dalam daerah kekuasaan Sultan Hamengkubuwana I dan Paku Buwana dengan perantaraan van der Burgh di Semarang, yang diratifikasikan oleh kedua raja itu pada 26 April 1774.[61] Pemerintah kolonial telah merasakan perlunya melakukan usaha untuk menyatukan daerah-daerah kekuasaan itu dan menetapkan batas-batas yang rapi. Daendels mengambil langkah pertama dalam sebuah surat perintah yang dikeluarkan awal tahun 1811. Perjanjian tahun 1812 yang dibuat oleh Raffles dengan keraton Kasunanan Surakarta juga mencakup sebuah klausul yang ditujukan untuk menarik batas-batas yang teratur. Berdasar atas pembagian tersebut, maka peta kewilayahan Sèwu mengalami perubahan. Berdasar peta wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah tahun 1812 (yang disusun setelah Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga), memperlihatkan gambaran umum tentang tanah Bagelèn yang berada di bawah pengelolaan bersama, antara pihak keraton Kasunanan di Surakarta dan keraton Kasultanan di Yogyakarta. Secara lebih rinci, peta kewilayahan itu memuat gambaran pembagian sebagai berikut: [62]

1. Tanah-tanah di Bagelèn (khususnya Sèwu) merupakan bagian dari negarigung berada di bawah pengawasan bersama Surakarta dan Yogyakarta;
2. Tanah-tanah di Sélang bagian dari negarigung yang berada di bawah pengawasan bersama Surakarta dan Yogyakarta;
3. Panjer merupakan tanah-tanah mancanegari Surakarta;
4. Roma atau Karanganyar merupakan tanah-tanah mancanegari Yogyakarta;
5. Karangbolong dan sekitarnya di pesisir selatan, adalah daerah-daerah yang dikuasai pihak Belanda. [63]

Munculnya nama “Panjer” setelah Perjanjian Giyanti, tampaknya dikaitkan dengan pembagian wilayah Roma atas Karanganyar dan Panjer, yang masing-masing di bawah kasultanan dan kasunanan. Pada era Mataram di Kartasura, Panjer dipimpin Ngabèhi Panjer sedang Roma dipimpin Tumenggung Kartanagara. [64] Berdasar keterangan “Babad Mentawis,” setelah era Mataram Kartasura dan sebelum tahun 1755, Tanah Bagelèn terpilah atas wilayah Sèwu di bawah kekuasaan Paku Buwana III (yang diperkuat benteng-benteng kompeni) dengan wilayah Roma di bawah Tumenggung Kartanagara di bawah Pangéran Mangkubumi. Mengingat gerak pasukan Mangkubumi saat menyerang benteng kompeni di Ungaran melalui jalur Winong (Mirit)-Ambal-Jrakah baik saat berangkat maupun kembali, menunjukkan Kutowinangun adalah wilayah musuh, dan diperkirakan pusat pasukan Hanggawangsa, yang berasal dari kota itu. Sedang Roma yang dikuasai pasukan Mangkubumi (meski sempat diduduki pasukan kompeni dan Hanggawangsa), dipimpin Tumenggung Kartanagara dibantu Ngabehi Panjer.

Dari titik ini, untuk sementara kita dibawa pada suatu pemikiran bahwa Panjer merupakan bagian dari wilayah Roma, yang memperoleh posisi khusus di bawah penguasa lokal, dengan kedudukan semacam Ngabehi Panjer Gunung, yang lebih memiliki tugas-tugas perpajakan dan bukan penguasa teritorial (melainkan semacam kota administratif). Ini akan terlihat dari luas wilayah dengan jumlah cacah tertentu setelah masuk sebagai bagian dari mancanegari kilen setelah Perjanjian Giyanti, seperti akan diulas di bagian bawah. Namun berdasar informasi lain, memperlihatkan bahwa secara geografis Roma justru merupakan bagian dari wilayah Panjer.[65]

Dalam muatan tersebut, terlihat bahwa daerah Panjer, diambil tanahnya seluas 800 cacah dari wilayah Kasunanan untuk diserahkan masuk ke wilayah Kasultanan. Kesan yang tertangkap dari muatannya, bahwa ternyata wilayah Bagelèn bagian barat itu adalah daerah Panjer. Dilihat dari pentingnya wilayah ini dalam konflik-konflik politik abad ke-18, memperlihatkan bahwa daerah ini menjadi perebutan para pangéran, dan akhirnya wilayah akan dibagi dua, dimana yang 800 cacah diberikan kepada Sultan Yogyakarta dan masuk ke dalam register keraton. Dilihat dari posisi saat berlangsungnya peperangan Mataram menjelang Perjanjian Giyanti, diperkirakan daerah Panjer beribukota di Roma (Jatinegara), di bawah kekuasaan Tumenggung Kartanagera, serta dibantu oleh Ngabèhi Panjer.

Hal itu diperkuat melalui analisis data lebih lanjut.Daerah Panjer tercantum dalam daftar mancanegari kilen menurut dasar komparasi dari data laporan rahasia tahun 1751 (yang merefleksikan situasi pasca tahun 1743 dan 1746), dimana Pustakaraja menuliskan kerajaan sepenuhnya dan itu tercantum dalam buku harian duta besar Nicolaas Hartingh pada Sultan Hamengkubuwana dan Susuhunan Paku Buwana pada tahun 1755. Dan figur cacah juga telah dicek dengan apendiks perjanjian 26 April 1774 (kesepakatan Serat Klepu Anyar) dan beberapa data baru dari sekitar tahun 1830. Dalam Serat Pustakaraja disebutkan tentang negarigung dimana wedana Sèwu membawahi 6.000 cacah,[66] sedang Serat Pustakaraja Puwara memperlihatkan daftar daerah mancanegari kilen dimana Panjer memiliki 100 cacah, Ayah (sebuah tempat pembuangan kuno di Sungai Jethis), Roma (Karanganyar) memiliki 800 cacah, dan Karangbolong (yang memiliki sumber hasil sarang burung).[67] Berdasar perbandingan wilayah dalam setiap otoritas teritorial, terlihat bahwa bumi Sèwu 6.000 cacah, Roma 800 cacah dan Panjer 100 cacah. Di sini kedudukan Panjer sejajar dengan daerah Lowano, Tangguh (Cangkreb, Purworejo), Melaran (dekat Lebaksiyu, Brebes), yang masing-masing memiliki wilayah 100 cacah.[68]

Tampaknya pembelahan daerah Panjer atas wilayah “Roma” dan “Panjer” setelah Perjanjian Giyanti, akan menjadi dasar bagi berdirinya Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen, pada nantinya. Kabupaten Karanganyar merupakan gabungan antara Roma dan Ayah, di samping beberapa wilayah Sèwu yang ada di antara keduanya. Sedangkan Kabupaten Kebumen merupakan gabungan antara Panjer, Sélang dan wilayah Sèwu (termasuk Ambal sebagai pusat kabupaten para pengikut Pangéran Dipanegara).

Perubahan peta wilayah terjadi lagi seusai berlangsung Perang Jawa (1830), tatkala pemerintah Hindia-Belanda melakukan aneksasi wilayah mancanegari dan beberapa daerah lainnya untuk kepentingan regulasi mengenai tindakan-tindakan yang diambil dalam pengumpulan pajak dan pungutan-pungutan lainnya, serta mengelola peradilan dan keadilan. Untuk itu dibentuk suatu komisi (beranggotakan P Merkus, J.I.van Sevenhoven, dan H.G.Nahuys van Burgst) yang tugas pertamanya adalah mengorganisasi wilayah barat (Banyumas dan Bagelèn) dan mancanegari wetan di bawah kekuasaan Belanda. Pada saat perembugan belum memadai (karena perundingan Semarang belum dilaksanakan), Nahuys sudah mengangkat F.Bousquet sebagai pejabat residen Bagelèn di Kutoarjo (Lauter merupakan residen Bagelèn yang diangkat pada tahun 1888, menggantikan W.Ligtvoet. Residen sebelumnya, periode 1854-1862 adalah A.W. Kinder de Camarecq). [69] Artinya, ini menunjukkan bahwa setelah menjadi wilayah gubernemen, eksistensi Bagelèn (Sèwu dan Numbak Anyar) serta beberapa daerah di sekitarnya, oleh pemerintah kolonial Belanda dipertahankan sebagai suatu wilayah tersendiri dengan status karesidenan (di antara karesidenan baru itu: Bagelèn, Banyumas, Madiun, Kediri), yang melalui penjanjian antara pihak pemerintah kolonial dengan raja-raja Mataram pada 22 Juni dan 3 Nopember 1830.[70] Karesidenan Bagelèn yang beribukota di Kutoarja dibubarkan pada tahun 1901, wilayahnya masuk sebagai bagian dari karesidenan Kedu.

Garis-garis besar reorganisasi kedua kerajaan diletakkan dalam tiga perjanjian menjelang akhir tahun 1830. Keraton-keraton Jawa itu menyerahkan mancanegari mereka dengan mendapat ganti rugi atau kompensasi, dan batas-batas baru pun ditentukan, dan komisi dibubarkan pada tgl.18 Desember 1830. Perjanjian tgl. 22 Juni 1830 dan tgl.3 Nopember 1830 menetapkan bahwa para raja dan keluarga keraton Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta akan menerima kompensasi, atas semua pendapatan yang telah mereka terima dari daerah-daerah (mancanegari dan Bagelèn) yang telah diserahkan kepada pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda.[71] Gambaran tentang tanah-tanah dari wilayah barat yang diserahkan keraton Surakarta kepada pihak Belanda, sebagai berikut:
1
Perubahan status dari tanah Bagelèn dan Banyumas menjadi wilayah gubernemen yang terjadi pada tahun 1830, maka berlangsung penataan susunan pemerintahan yang baru, yang berada di bawah struktur kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Seperti disebutkan di depan, Bagelèn menjadi wilayah karesidenan yang berpusat di Kutoarjo, dipimpin seorang pejabat residen, yang memiliki pembantu di setiap distrik, yang disebut asisten-residen. Pengalaman dari Kiai Sadrach saat menyiarkan agama Kristen di Bagelèn misal, ia bertemu dengan Residen Lauter di Kutoarjo (1882), serta pejabat teras karesidenan termasuk asisten residen Karangayar, Kebumen dan Kutoarjo.[72] Sedang di setiap distrik juga ada pejabat bupati. Dalam kajian tentang “Kitab Kedhung kebo”, Carey menyimpulkan bahwa penulisan kitab itu untuk meletakkan hak dasar bagi dinasti para bupati yang telah didirikannya di Purworejo. Tumenggung Cakranagara I (1830-1862) secara resmi diangkat menjadi bupati Kedhungkebo pada tgl.9 Juni 1830, dan kemudian digantikan Cakranagara II pada tahun 1862.[73] Hampir bersamaan dengan pengangkatan Cakranegara I sebagai bupati Purwareja, Tumenggung Arung Binang nantinya juga akan diangkat sebagai bupati di Panjer (Kebumen). [74] Keterangan itu merupakan informasi dari lapangan tentang data-data dari kabupaten Kebumen dan Purworejo tahun 1830-an. Dari pengalaman lain sebagaimana dikemukakan Guilliot, bahwa Kiai Sadrach beberapa kali pada tahun 1880-an juga telah bertemu dengan bupati Kutoarjo. Dalam pemakaman Kiai Sadrach pada 1924 saat meninggal dunia, bupati Kutoarjo juga ikut hadir. [75] Ini menunjukkan, bahwa Kutoarjo-pun menjadi daerah kabupaten yang berdiri sendiri.

Berdasar atas hal tersebut, tampaknya pembentukan karesidenan Bagelèn disertai dengan pembentukan kabupaten-kabupaten (regentschappen) yang ditandai pengangkatan para bupati dan asisten residen di tempat itu. Hal demikian dilatari oleh kepentingan pemerintah kolonial yang menerapkan sistem tanam paksa maka memerlukan kerjasama dan pengaruh dari para bupati. Berdasar informasi tersebut, sistem karesidenenan yang mulai diletakkan oleh Raffles dengan membagi Jawa menjadi 16 karesidenan, telah mempermudah pemerintah kolonial melakukan penataan terhadap pemerintahan dan kaitannya dengan sistem peradilan. Peraturan pemerintah mengenai tugas kewajiban dan pangkat para bupati di pulau Jawa yang telah disahkan pada tahun 1820 (dengan perubahan-perubahan kecil tahun 1826) menyebutkan secara terperinci bahwa bupati adalah orang pertama dalam kabupatennya, yang berada langsung di bawah perintah residen.[76] Kedudukan residen sangat sentral, karena memiliki otoritas langsung terhadap para pejabat yang ada di bawahnya, termasuk dalam soal peradilan untuk warga masyarakat. [77] Kasus Residen W.Ligtvoet dalam soal pidana Kiai Sadrach (yang berakhir dengan desas-desus Raad van Indië di Batavia mempersalahkan tindakan residen, sehingga Ligtvoet mundur dari jabatan pada 4 Juni 1882),[78] membuktikan otoritas itu.

Kuatnya pengaruh dari jabatan residen terjadi sejak negeri induk mengalami perubahan ketatanegaraan, setelah runtuhnya VOC (1799) berbareng tergusurnya kaum Oranye di Belanda oleh revolusi yang digulirkan golongan Patriot dengan bantuan Perancis. Namun sejak tahun 1806 Bataafsche Republiek (vazal Perancis) digantikan Koninkrijk Holland (Kingdom) di bawah raja Louis Napoleon Bonaparte, di mana Indonesia diserahkan kepada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendeles (1808). Dalam mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris, ia memusatkan perhatian pada pertahanan dan ketentaraan. Ia membuat aturan baru yang bersifat otokratis, dengan menghapuskan jabatan gubernur, dan residen langsung di bawah Gubernur Jenderal; sedang kedudukan bupati hanya menjadi pegawai biasa yang ditugaskan untuk melaksanakan perintah-perintah Prefekt.[79] Tujuannya, untuk memusatkan kekuasaan di Batavia serta memperketat pengawasan administrasi dan keuangan atas para pemimpin pribumi. Setelah Kapitulasi Tuntang (18 September 1811), Lieutenant Gubernur Jenderal Sir Thomas Stanford Raffles mengikuti garis kebijakan Daendeles, namun bupati dipertahankan dengan tidak lagi menjadi pusat dari segala urusan melainkan terbatas pada urusan polisi pribumi. Pemerintah kolonial langsung berhubungan dengan rakyat dengan memperkenalkan jabatan baru asisten-residen, sehingga kekuasan residen menambah otokrasi mereka; kedudukan bupati mencapai titik terendah di bawah Daendeles dan Raffles. [80] Petani diberikan “eigendom” (ketentuan hukum atas tanah), dengan dianjurkan kebebasan dalam penanaman, bekerja, berdagang, dan sebaliknya paksaan-paksaan dihapuskan. Menurut anggapan Raffles, The British Government sama sebagai pengganti raja yang menjadi pemilik tanah, berhak menjaga, mengamati dan menyewakan kepada petani.

Karena itu lahir aturan yang didasarkan landrente (pajak tanah), yang disebut landelijk stelsel (1813-1830).
Perang Jawa (1825-1830) telah mengubah pandangan pemerintah pusat di Batavia bahwa sebenarnya sangat penting untuk memelihara loyalitas para bupati itu dengan melindungi mereka, melibatkan dalam tugas-tugas pemerintahan serta memperlakukannya dengan hormat. Batavia berhasil mengarahkan kembali para pejabat Binnenlandsch Bestuur (pemerintahan dalam negeri) dan bupati-bupati kepada pelaksanaan tugas dari suatu kebijaksanan baru yang disebut sistem tanam paksa (cultuur stelsel), yang lebih lanjut pokok-pokok aturannya dituangkan dalam Staatsblad 1834 no.22. Di bawah pengawasan pemerintah, penduduk pribumi Jawa harus menanam sebagian dari tanah miliknya dengan jenis tanaman yang ditentukan dan yang kemudian dipasarkan oleh para penguasa Belanda. Kerjasama dengan para pemimpin pribumi adalah sangat penting manakala penduduk di pedesaan hendak dimobilisasi. Gubernur Jenderal J.Van den Bosch (1830-1833) mengembalikan para bupati itu pada kedudukan sebelum zaman Daendeles.[81] Pemerintah memberikan perhatian yang besar untuk mengendalikan para bupati terhadap usaha-usaha komersial itu, dan dalam perjalanan inspeksinya pada tahun 1834, Baud bukan saja metawari prosentase-prosentase, melainkan juga hak-hak istimewa yang dahulu dimiliki para bupati untuk dipulihkan, yakni pemberian hak pewarisan jabatan berdasar keturunan. Perubahan konstitusi Belanda tahun 1848 telah memperkuat peluang itu yang dimuat oleh Regeerings Reglemen atau RR (Peraturan Pemerintah) tahun 1836 yang kemudian dipertahankan dalam RR tahun 1854, yang mengatur pangreh praja melalui pasal 67 dan 69 dimana penduduk pribumi dibiarkan ada di bawah pengawasan para pemimpin mereka, dan para bupati dipilih gubernur dari penduduk pribumi.[82]

Di karesidenan Bagelen dibentuk kabupaten Karanganyar, Kebumen, Kutoarjo dan Purworejo, di mana pada setiap kabupaten juga diangkat seorang pejabat asisten-residen. Wilayah Bagelen (bekas wilayah Sewu dan Numbak Anyar) dipisahkan menjadi kabupaten Kedhungkebo (Purworejo), Kutoarjo dan Panjer (Kebumen), di tambah Karanganyar (Roma). Berdasar studi terhadap silsilah Raden Saleh (pelukis yang terkenal karena menggambarkan penangkapan kompeni atas Pangeran Dipanegara di Magelang dalam suatu lukisan kanvas), seusai Perang Jawa (1830) jabatan bupati Panjer di tanah Bagelèn dipegang mertua Raden Saleh. Yakni Mas Tumenggung Kertawangsa Kalapa Aking yang beristri Raden Rara Klenthéng (puteri Raden Adipati Danureja II dari trah Kasultanan Yogyakarta), yang sebelumnya menjabat sebagai komandan pasukan tentara di wilayah ini.[83] Di sini, terlihat gejala yang jelas, tentang Mas Tumenggung Kertawangsa Kalapa Aking, merupakan bupati I di kabupaten Panjer Tanah Begelèn, setelah berakhirnya Perang Jawa dengan penangkapan Pangeran Diponegoro (1830). Pada tahun 1834, kedudukan bupati digantikan Tumenggung Arungbinang (1834-1861).

Nama kabupaten Panjer diganti “Kebumen”, sementara wilayah bagian selatan yang dahulu berada di bawah kompeni dan Banyumas, masuk ke kabupaten Karanganyar. Kota-kota Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kasultanan Yogyakarta (juga tanah-tanah yang dikuasai di bagian barat), menjadi pusat penempatan pasukan dan tangsi-tangsi militer, termasuk kota Purworejo, Magelang, Ungaran, Cilacap dan Gombong, sedang untuk wilayah seperti Kebumen, Wonosobo dan Purwokerto menjadi lahan perkebunan.[84] Wilayah kabupaten Kebumen dan Karanganyar untuk perkebunan tebu dan industri gula yang tersebar hampir merata, di samping cengkeh di bagian barat dan utara, serta perkebunan nila di Ambal.[85] Hingga tahun 1926-1927, keadaan penduduk wilayah kabupaten Kebumen terdiri dari 208 desa dan 327.901 cacah; kabupaten Karanganyar terdiri dari 256 desa dan 382.279 cacah; Kabupaten Kutoarjo terdiri dari 257 desa dan 259.078 cacah; kabupaten Purworejo terdiri dari 185 desa dan 273.986 cacah. [86]

Hingga menjelang dekade tahun 1930-an, suasana kolonial mengalami perkembangan. Namun sejak tahun 1924-1929, terutama untuk dua tahun yang terakhir, tingkat harga dan upah telah turun menjadi 50 persen, sejauh menyangkut transaksi dalam masyarakat bumiputera. Produk-produk untuk ekspor mengalami penurunan lebih tajam. Para pekerja Eropa mulai dipulangkan ke negeri asal hingga ribuan orang, sedang ratusan lainnya, dan bersama mereka orang-orang Indo Eropa, Cina dan penduduk asli yang jumlahnya juga mencapai ribuan orang, ditampung oleh panitia-panitia penyantun masa darurat dan organisasi-organisasi lainnya dengan bantuan pemerintah. Pemerintah menghadapi masalah keuangan. Penghematan besar-besaran dilaksanakan dan ribuan pegawai diberhentikan; belanja pemerintah turun dari f.515 mm menjadi f.296 mm (1929-1936). Meski demikian, hutang pemerintah meningkat sekitar f. 400.000.000; ini terjadi, meski beban pajak meningkat dengan 80%, pemotongan gaji (bagi pegawai terendah sampai berjumlah 45%) dan diberhentikannya hampir seluruh pekerjaan umum; semua yang berhubungan dengan kehidupan usaha Barat dan pemerintah, boleh dikatakan lumpuh.[87] Menghadapi malaise, langkah efisiensi dalam keuangan mendorong penyederhanaan tata pemerintahan dengan penggabungan daerah kabupaten. Berdasarkan Surat keputusan Gubernur Jenderal De Jonge tertanggal 31 Desember 1935 nomor 3 (Besluit van den Gouverneur-General van 31 December 1935 no.3) yang berlaku mulai per tgl.1 Januari 1936, Kabupaten administratif Karanganyar dihapus dan digabungkan dengan Kabupaten Kebumen dengan nama Kabupaten Kebumen, sebagaimana tercatat dalam Staatsblad (Lembaran Negara) Hindia Belanda tahun 1935 Nomor 629.

Kebumen, 15 Desember 2007MT Arifin

admin

Untuk bergabung dengan Group Aku Cinta Kebumen di Facebook, silahkan buka link ini => Aku Cinta Kebumen

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *